Pulau Tapai

Pulau Tapai menceritakan tentang seorang janda yang pandai membuat tapai dan ia tinggal bersama anak lelakinya, Ujang, di sebuah gubuk reyot di pesisir pantai Pulau Bintan. Sehari-hari Ujang membantu ibunya dengan cara mencari kayu bakar untuk dijual.

Suatu hari, ketika sedang mencari kayu bakar, Ujang mendapat kabar dari tetangganya bahwa ada sebuah kapal milik seorang saudagar kaya berlabuh di pelabuhan. “Saudagar itu mencari pemuda untuk dijadikan anak buah,” katanya. Ujang pun pergi ke pelabuhan dan menemui saudagar kaya itu dan menawarkan diri.

Keinginan Ujang untuk berlayar membaut ibunya sedih sebab perempuan itu tidak ingin Ujang pergi. Tetapi karena Ujang tetap bersikeras, janda itu tidak bisa berbuat banyak; ia pun merelakan Ujang pergi bersama saudagar tersebut. Dan, pada hari keberangkatan Ujang, ibunya membekalinya dengan sebungkus tapai sebab hanya itulah yang ia miliki.

Bertahun-tahun kemudian Ujang kembali ke kampong halamannya dengan penampilan yang berbeda sebab ia sudah menjadi seorang saudagar kaya. Orang-orang pun berdatangan ke pelabuhan menyaksikan kedatangan Ujang. Janda itu ada di sana, di antara kerumunan orang yang memenuhi pelabuhan, dan ia tampak lebih tua dan lebih berantakan dan tak ada seorang pun yang mengetahui perasaan apa yang sedang melanda hatinya.

Janda itu dating membawa sebungkus tapai sebab ia tahu bahwa Ujang menyukai tapai buatannya. Tetapi ketika ia menemui Ujang, hal yang terjadi justru sebaliknya; Ujang bahkan tidak mengakui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya.

Tak lama setelah itu Ujang bersama istri dan anak buahnya pun kembali berlayar dan mereka dihadang oleh badai besar. Kapal Ujang terombang-ambing. Di antara suara derit papan papan dan hujan dan angin dan semua yang bisa ia dengar, Ujang teringat akan ibunya. Ia pun meminta maaf. Tetapi permintaan maaf Ujang tak pernah sampai ke telinga ibunya sebab kapalnya tenggelam.

Putri Pandan Berduri

Putri Pandan Berduri mengisahkan tentang Batin Lagoi, pemimpin Suku Laut, atau Suku Sampan, yang mendapati seorang bayi perempuan di antara semak-semak pandan di pinggir pantai. Lelaki itu kemudian membawa bayi tersebut dan memberinya nama Putri Pandan Berduri. Ia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.

Ketika akhirnya Putri Pandan Berduri tumbuh dewasa, Batin Lagoi ingin agar puterinya menjadi istri raja atau, paling tidak, istri megat. Tetapi pada saat ia melihat Jenang Perkasa, anak seorang megat yang pergi dari rumah, Batin Lagoi merasa kagum dengan budi pekerti pemuda itu. Ia pun meminta Jenang untuk menikahi Putri Pandan Berduri.

Mereka pun menikah dan dikarunia tiga orang anak. Tak lama setelah menikah, Jenang Perkasa diangkat oleh ayah mertuanya sebagai batin (kepala daerah) di Pulau Bintan. Karena Jenang memerintah dengan adil dan bijaksana, kabar mengenai sepak terjangnya cepat tersebar – bahkan sampai ke telinga-telinga masyarakat Galang, kampung halaman Jenang Perkasa.

Beberapa orang dari Galang kemudian datang menghadap Jenang Perkasa dan memintanya untuk pulang dan menjadi pemimpin mereka, menggantikan abangnya, Julela, yang memerintah secara buruk. Ketika orang-orang dari Galang itu menghadap Jenang, para penduduk di Pulau Bintan baru mengetahui bahwa pemimpin mereka adalah anak seorang megat.

Tetapi karena kecintaannya pada Putri Pandan Berduri, pada ketiga anaknya, dan kepada masyarakat Pulau Bintan, Jenang Perkasa pun menolak. Ia ingin tetap berada di Pulau Bintan dan menghabiskan sisa hidupnya bersama Putri Pandan Berduri dan mendidik ketiga anak mereka agar tumbuh mejadi manusia yang berbudi luhur.

Batu Ampar

Batu Ampar mengisahkan tentang si Badang, seorang pemuda kurus yang tampak berantakan. Tetapi kondisi memprihatikan itu hanya sebentar saja, sebab di masa-masa selanjutnya si Badang menjelma menjadi seorang pria gagah perkasa dan suka berkelana. Menurut kabar, ia pernah mengunjungi Pulau Bintan dan Daik Lingga, termasuk pulau Buluh dan Tumasik.

Di Tumasik, si Badang terkenal sebagai orang sakti mandraguna. Kabar tentang kesaktian si Badang itu pun akhirnya sampai ke telinga putri penguasa Tumasik, yang kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menemui si Badang. Rupanya, setelah bertemu, putri tersebut meminta si Badang mewakili kerajaan Tumasik dalam ajang adu kekuatan melawan orang kuat dari India; apabila si Badang kalah, maka putri harus merelakan seluruh wilayah Tumasik kepada orang kuat tersebut. Sebaliknya, jika perwakilan dari Tumasik yang menang, orang kuat dari India itu bersedia menyerahkan seluruh harta bendanya.

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba juga dan semua orang berkumpul di pantai Timur Tumasik, atau di depan Pulau Sentosa, untuk menyaksikan pertandingan antara si Badang dan orang kuat tersebut.

Setelah melakukan sedikit pemanasan, orang kuat dari India itu mulai memamerkan kehabatannya; ia mengangkat batu besar ke atas kepalanya dan semua orang terkagum-kagum. Melihat aksi tersebut, Putri Tumasik merasa cemas. Ia khawatir kalau-kalau si Badang tak lebih kuat dari laki-laki itu.

Ketika giliran si Badang tiba, pertama-tama ia melihat batu yang diangkat oleh orang kuat tadi, lalu memandang jauh ke Gunung Ledang, lalu ke Selat Singapura, lalu ia pun mulai mengangkat batu besar itu. Ia melakukannya dengan mudah. Bahkan, si Badang mampu melambung-lambungkan batu itu, persis seperti seorang ibu yang melambung-lambungkan bayinya ke udara. Melihat kehebatan Badang, semua rakyat Tumasik pun bersorak gembira. “Bang!” teriak mereka. “Luar biasa,” kata yang satu. “I love you bang Badang,” kata yang lain.

Tak lama setelah itu si Badang pun melempar batu tersebut ke arah laut. Tuan putri, yang juga merasa takjub dengan kekuatan Badang, langsung meminta anak buahnya untuk mencari batu tersebut. Rupanya batu itu terlembar sampai ke bagian Utara pulau Batam. Sayangnya, batu tersebut sudah tidak utuh lagi. Ia sudah pecah, dan para anak buah Putri Tumasik mendapati pecahan batu tersebut terhampar luas. Kini, orang-orang menyebut tempat itu sebagai Batu Ampar (batu yang terhampar).

Batang Tuaka

Batang Tuaka adalah nama sungai (batang) yang berada di Indragiri Riau. Menurut cerita rakyat Melayu, munculnya sungai Batang Tuaka ini merupakan perwujudan dari tangisan seorang ibu yang telah didurhakai oleh anaknya serta tangisan anaknya yang memohon ampun kepada ibunya.

Cerita Batang Tuaka bermula pada zaman dahulu di daerah Indragiri Riau, hiduplah seorang wanita bersama anak laki-lakinya yang bernama Tuaka. Mereka hidup di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal. Mereka saling menyayangi. Tuaka selalu membantu emaknya yang bekerja keras untuk penghidupan mereka.

Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.

Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.

“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.

“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.

Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).

Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.

Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.

Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.

“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.

“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.

Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.

“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.

Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.

Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.

Sumber:

IDN TIMES SUMUT. Penulis: Chairil Anwar. Published: 14 September 2023